Senin, 13 Agustus 2018

hukuman mati bagi pengedar narkoba



Nama: Atryla Nurul Latifah
Kelas: XII MIPA C
Hukuman Mati Untuk Pengedar Narkoba
Hukuman mati adalah salah satu hukum yang diberlakukan di Indonesia. Hukuman ini berlaku untuk kasus pembunuhan berencana, terorisme, dan perdagangan obat-obatan terlarang. Hukuman mati adalah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya. Hukuman mati selalu menjadi perdebatan menarik setiap kali terpidana mati dieksekusi. Eksekusi mati bagi Sumiarsih dan anaknya Sugeng, pelaku pembunuhan Letkol Purwanto dan keluarganya pada tahun 1988, bagi Usep alias Muhamad Tubagus Yusuf Maulana (40), dukun pembunuh delapan warga Tangerang, serta pelaku pengedaran atau perdagangan obat-obat terlarang (narkoba), Freddy Budiman sudah dilaksanakan. Mengenai hukuman mati, banyak kalangan yang setuju, namun tidak sedikit yang menolak.
Seharusnya kontroversi itu berakhir ketika UUD 1945 mengalami serangkaian perubahan. Dalam konteks hukuman mati kita sesungguhnya bicara tentang hak-hak asasi manusia yang dalam UUD 1945 setelah perubahan masuk dalam Bab XA. Pasal 28A dengan eksplisit mengatakan:
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
Jadi,‘hak untuk hidup’ atau ‘the right to life’ adalah hak yang paling mendasar dalam UUD 1945. Hak untuk hidup ini adalah puncak hak asasi manusia yang merupakan induk dari semua hak asasi lain.
Kalangan organisasi non-pemerintah atau Komnas HAM meminta semua peraturan yang memuat hukuman mati tidak diberlakukan. Mereka menilai hukuman mati sudah kehilangan sukma konstitusi dan bertentangan dengan pasal 28 I butir 1 UUD 1945 (Amandemen Kedua) yang menegaskan bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Ini berarti seluruh produk hukum yang masih mencantumkan hukuman mati sebagai ancaman pidana harus ditiadakan.


Di lain pihak banyak yang setuju atas penerapan hukuman mati. Sepanjang pidana mati masih dicantumkan dalam KUHP dan undangundang lainnya, maka pelaksanaan hukuman tersebut harus dilakukan dan tidak dapat dihindari.  Di luar KUHP, masih ada ancaman pidana mati dalam berbagai undangundang dan satu perpu, yaitu: Tindak pidana ekonomi (UU No. 7/Drt/1995),  Tindak pidana Narkotika dan Psikotropika (UU No. 22 Tahun 1997 dan UU No. 5 Tahun 1997), Tindak pidana korupsi (UU No. 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001), Tindak pidana terhadap Hak Asasi Manusia (UU No. 26 Tahun 2000); dan  Tindak pidana terorisme (Perpu No. 1 Tahun 2002).

Salah satu contohnya kasus pengedar narkoda Freddy Budiman Meski dipenjara di LP Cipinang, Freddy masih bisa mengendalikan bisnis narkobanya hingga ke luar negeri. Di dalam penjara, Freddy melakukan musyawarah jahat dengan Chandra Halim untuk mengimpor 1,4 juta pil ekstasi dari Hong Kong. Operasi disusun rapi melibatkan banyak pihak tapi aparat berhasil mengendusnya dan membongkar aksi itu pada 2013. Freddy serta kawanannya diadili dan dihukumMeski dipenjara di LP Cipinang, Freddy masih bisa mengendalikan bisnis narkobanya hingga ke luar negeri. Di dalam penjara, Freddy melakukan musyawarah jahat dengan Chandra Halim untuk mengimpor 1,4 juta pil ekstasi dari Hong Kong. Operasi disusun rapi melibatkan banyak pihak tapi aparat berhasil mengendusnya dan membongkar aksi itu pada 2013. Freddy serta kawanannya diadili dan dihukum.
Adapun proses hukuman mati itu akan dilaksanakan dengan cara Tersangka akan ditutup matanya lalu diposisikan di daerah berumput, juga diberikan pilihan tersangka untuk duduk atau berdiri. Tentara menembak jantung tersangka dari jarak 5 hingga 10 meter, hanya 3 senjata yang berisi perluru dan sisanya tidak sama sekali. Jika tersangka tidak tewas, maka diizinkan untuk menembak tersangka di kepalanya dengan izin dari komandan regu tembak.
Eksistensi pidana mati dalam sistem hukum pidana Indonesia tampaknya sulit untuk dihapuskan. Hal ini setidaknya dapat dibaca dari masih tetap dicantumkannya pidana mati sebagai salah satu bentuk pemidanaan dalam rancangan KUHP Indonesia.



Sebagai masyarakat yang mayoritas berpenduduk muslim, dimana pandangan dan nilai-nilai hukum Islam melekat dalam kultur masyarakat, pidana mati secara umum dapat diterima sebagai bagian criminal policy atau kebijakan penanggulangan kejahatan
Akan tetapi rumusan kebijakan semacam ini harus tetap dikontrol secara baik dan menyeluruh. Caranya dengan melakukan usaha-usaha perbaikan mulai dari hulu sampai hilir. Dari hulu, setiap vonis pidana mati harus dilakukan secara selektif dan transparan. unsur selektif dan transparan harus bisa diukur oleh masyarakat. Agar bisa diukur, setiap vonis pidana mati yang dijatuhkan oleh hakim kepada terpidana harus disertai dengan pertimbangan-pertimbangan lain diluar pertimbangan “klise“ seperti diatas. Misalnya dengan mencantumkan pertimbangan kriminologi, psikologi, sosial dan lain-lain.

Tujuannya agar hal-hal yang menjadi target dari proses penjatuhan pidana yang terkandung dalam setiap vonis hakim bisa dibaca dan dimaknai secara baik oleh masyarakat. Pun masyarakat bisa melihat paradigma berpikir hakim dalam mempertimbangkan orientasi tujuan pemidanaan, mulai yang tersederhana yaitu teori pembalasan (retributive theory) atau teori absolut, kemudian teori utilitarian atau teori relatif sampai dengan teori gabungan. Teori ‘detterent’ khususnya teori pencegahan umum (general detterent) untuk menimbulkan rasa takut terhadap pidana mati dalam rangka pencegahan kejahatan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kasus korupsi infrastruktur

Nama : Yehezkiel Dwi Putra W Kelas :XII MIPA C Korupsi Proyek Infrastruktur Korupsi atau rasuah ( bahasa Latin : corruptio dari kata k...