Noor Septriana Dwi Syakira
XII MIPA C
KASUS PELANGGARAN HAK WARGA NEGARA
“TIDAK MENDAPATKAN PERLAKUAN HUKUM YANG SETARA”
Indonesia adalah negara hukum yang artinya bahwa hukum dijunjung tinggi di
Indonesia. Sebagai negara hukum, Indonesia mengakui dan melindungi hak asasi
setiap individu tanpa membedakan latar belakangnya. Salah satu hak manusia yang
harus diakui dan dilindungi adalah hak kesamaan kedudukan dihadapan hukum (equality before the law).
Persamaan dihadapan hukum ( equality
before the law) adalah salah satu asas terpenting dalam hukum modern. Asas
ini menjadi salah satu sendi doktrin Rule of Law yang juga menyebar pada
negara-negara berkembang seperti Indonesia.Di Indonesia hak manusia tentang kesamaan kedudukan
dihadapan hukum diatur dalam Pasal 28 D
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-IV : "Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum".
Persamaan di
hadapan hukum harus diartikan secara
dinamis dan tidak diartikan secara statis. Artinya, kalau ada persamaan di
hadapan hukum bagi semua orang maka harus diimbangi juga dengan persamaan
perlakuan (equal treatment) bagi semua orang. Jika ada dua orang
bersengketa datang ke hadapan hakim, maka mereka harus diperlakukan sama oleh
hakim tersebut (audi et alteram partem).Persamaan di hadapan hukum yang
diartikan secara dinamis ini dipercayai akan memberikan jaminan adanya akses
untuk memperoleh keadilan (access to justice) bagi semua orang
tanpa memperdulikan latar belakangnya. Menurut Aristoteles, keadilan harus dibagikan oleh negara kepada semua
orang, dan hukum yang mempunyai tugas menjaganya agar keadilan sampai kepada
semua orang tanpa kecuali. Apakah orang mampu atau fakir miskin, mereka sama
untuk memperoleh akses kepada keadilan.
Ketidakadilan perlakuan yang sama
dihadapan hukum merupakan jaminan HAM yang paling sering dilanggar oleh negara.
Terdapat faktor-faktor lain di luar hukum yang dapat menyebabkan ketidaksamaan
perlakuan dihadapan hukum, yakni relasi,jabatan,kekuasaan
dan lain-lain. Hal-hal itulah yang menyebabkan perlakuan yang tidak sama
dihadapan hukum. Perlakuan yang tidak sama dihadapan hukum juga dikarenakan
oleh kurang tegas atau kurang kuatnya
hukum yang ada di Indonesia. Persamaan di hadapan hukum yang selama ini
dilaksanakan oleh Indonesia bukanlah persamaan setiap orang dihadapan hukum,
tetapi perlakuan hukum kepada sesorang yang tergantung oleh kekuasaan dan
jabatan orang itu.
A. CONTOH KASUS
PELANGGARAN KESETARAAN HUKUM
Kasus yang menimpa nenek Minah yang
dituduh mencuri 3 kilogram kakao, padahal kenyataannya beliau hanya
mngambil 3 buah kakao yang telah jatuh dari pohonnya Wanita berusia 55 tahun
itu adalah warga Dusun Sidoharjo Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang,
Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah. Ulahnya yang mencuri tiga butir kakao
di kebun milik PT Rumpun Sari Antam senilai Rp 2.000,00 pada Agustus 2008 telah
membuatnya harus berurusan dengan hukum. Majelis hakim menjatuhkan vonis 1 bulan 15 hari kurungan penjara, serta
masa percobaan 30 hari. Putusan itu muncul di tengah kasus korupsi mega miliar di Jakarta, Bank
Century. Spontan muncul tanda tanya besar di benak publik. Mengapa aparat
penegak hukum kita begitu cepat dan responsif menangani kasus pencurian seperti
yang dilakukan Nenek Minah, sementara kasus pencurian uang negara alias korupsi
yang melibatkan pejabat negara begitu sulit terungkap?
Masih banyak kasus-kasus seperti diatas
yang kebanyakan menimpa rakyat kecil. Sebut saja kasus pencurian buah semangka
yang hanya satu buah dan berbuntut ke meja hijau. Begitu mudahnya aparat hukum
memvonisnya. Namun, mengapa aparat kurang responsive untuk menindak para
koruptor. Sungguh ironis memang, Negara yang menjunjung tinggi hukum seperti
republic Indonesia ini ternyata hukum-hukum yang trecantum dalam pasal-pasal
tersebut tidak berlaku bagi rakyat kecil?
Lantas, untuk apa pasal-pasal
tersebut dibuat kalau tidak memihak pada seluruh rakyat di Indonesia?
Dengan alasan menegakkan hukum
positif, aparat hukum begitu cepat dan tangkas menjerat si miskin. Hukum
terasa kaku, kejam, dan menakutkan bagi rakyat kecil. Terlebih dengan
segala keterbatasan mereka tidak mampu membayar pembela hukum layaknya para
koruptor.
Aparat penegak hukum terlihat sangat
konsisten bila mengusut bahkan memenjarakan warga miskin, bahkan tak
jarang juga menggunakan pasal tindak pidana secara berlebihan. Tapi
bagaimana dengan perlakuan terhadap para koruptor, para perampok uang
negara, para penyalah guna wewenang dan kekuasaan? Bahkan dalam beberapa
kasus para koruptor hanya mendapatkan hukuman percobaan dengan alasan
kerugian yang ditimbulkan sudah dikembalikan.
Sementara perlakuan berbeda berlaku
para para pejabat dan koruptor kakap yang terindikasi merugikan keuangan
negara. Aparat penegak hukum sering terlihat “salah tingkah” saat
berhadapan dengan para pejabat dan pemilik akses ekonomi dan politik.
Hukum tiba-tiba menjadi rumit dan berliku ketika berhadapan dengan para
pejabat atau pengusaha. Gerakan penegak hukum pun terasa begitu lamban
jika menghadapi mereka. Salah satu contoh, Anggodo Widjojo, yang diduga
merekayasa proses hukum lewat percakapannya melalui telepon berkaitan
dengan kasus dugaan penyuapan KPK masih bebas berkeliaran. Lainnya
Anggoro Widjojo, tersangka korupsi pengadaan radio komunikasi di
Departemen Kehutanan, sampai hari ini masih tak tersentuh hukum.
Idealnya dalam negara hukum
(rechtsstaat) negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu.
Pengakuan negara terhadap hak individu ini tersirat di dalam persamaan
kedudukan di hadapan hukum bagi semua orang. Dalam suatu negara hukum semua
orang harus diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law).
Persamaan di hadapan hukum harus diimbangi juga dengan persamaan perlakuan
(equal treatment).
Namun prakteknya, konflik antara suatu
kepentingan dan kepentingan lain yang berposisi sebagai antitesisnya. Seperti
kita ketahui banyak faktor di luar hukum yang turut menentukan bagaimana hukum
senyatanya dijalankan. Hukum yang dituliskan (law in abstracto) tidak
selalu sama dengan hukum dalam praktek (law in concreto). Hukum dalam
prakteknya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar hukum (extra-legal
factors). Hukum, meski dipercaya memiliki nilai-nilai dan makna yang maha
penting dalam menata kehidupan sosial, ia tetap sebagai hasil dari pergesakan
dan tarik-menarik representasi politik, ekonomi yang memiliki kekuasaan
tertentu dalam memengaruhinya.
B. UPAYA PENANGANAN KASUS
Salah satu upaya untuk mengatasi
masalah seperti kasus diatas agar sistem hukum yang ada di negara ini dapat
ditegakkan kembali, yaitu dengan cara memilih penegak-penegak hukum yang memang
berkualitas bukan sekadar penegak hukum yang menginginkan jabatan . Penegak hukum
yang tegas dan tidak dapat disuap dengan uang. Dan juga dapat diatasi dengan
sosialisasi mengenai hukum yang ada di Indonesia agar masyarakat awam lebih
mengetahui bagaimana sistem hukum di Indonesia supaya ketika suatu saat terjadi
perlakuan yang ketidaksamaan di hadapan hukum oleh siapapun maka masyarakat
dapat mengetahui bahwa hal tersebut merupakan pelanggaran HAM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar