Kelas : XII MIPA C
Contoh kasus pelanggaran / pengingkaran kewajiban warga negara
Kasus Gayus
Tambunan
Masih ingatkah pembaca dengan nama Gayus
Tambunan, seorang petugas pajak yang menerima suap terkait pengurusan
permohonan keberatan pajak. Kasus Gayus sama dengan kasus pajak yang menimpa
Hadi Poernomo, dan BCA.Gayus Tambunan dipidana karena terbukti menerima suap uang sebesar Rp 925 juta rupiah dari Roberto Santonius terkait kepengurusan gugatan keberatan pajak PT Metropolitan Retailmart dan menerima 3,5 juta dollar Amerika dari Alif Kuncoro terkait kepengurusan pajak tiga perusahaan Grup Bakrie, yakni PT Arutmin, PT Kaltim Prima Coal, dan PT Bumi Resource.
Gayus Tambunan dinilai telah terbukti menerima suap dan melakukan tindak pencucian uang dari tiga perusahaan Bakrie Group senilai 7 juta dollar AS, lalu membagi uang itu ke Alif Kuncoro, Imam Cahyo Maliki, Maruli Pandapotan Manurung, dan pejabat-pejabat di Ditjen Pajak lain. “Saya terima tiga juta dollar AS,” kata Gayus.
Gayus menjelaskan sumber dana yang dia terima ketika masih bekerja di Direktorat Jenderal Pajak, yakni dari PT Bumi Recources, PT Arutmin, dan PT Kaltim Prima Coal. Dengan suap tersebut Bakrie Group menginginkan Gayus Tambunan melakukan tiga pekerjaan, PT Bumi Resources mengajukan banding tahun 2005, Gayus diminta untuk membuatkan surat banding, surat bantahan-bantahan, dan termasuk persiapan apa saja yang dibutuhkan dengan imbalan sebesar 3 juta dollar AS yang kemudian ia bagikan kepada Alif Kuncoro, Imam Cahyo Maliki, Maruli Pandapotan Manurung.
Serupa dengan kasus Gayus Tambunan dengan sejumlah perusahaan terkait pengurusan permohonan keberatan pajak, kasus yang sama juga terulang di tubuh Bank BCA dengan Hadi Poernomo-nya, namun bedanya apabila kasus Gayus sudah tuntas, kasus penggelapan pajak yang menyeret PT. Bank BCA Tbk dalam daftar hitam penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih saja belum mencapai kata final sejak dibukanya penyelidikan pada tahun 2003 silam.
Peran Hadi Poernomo dalam kasus pajak BCA diduga menyalahgunakan wewenangnya sebagai Dirjen Pajak dengan dengan membuat Surat Keputusan (SK) yang melanggar prosedur terkait permohonan keberatan wajib pajak yang disampaikan oleh pihak Bank BCA. Hadi Poernomo selaku dirjen pajak diduga memanipulasi telaah direktorat PPH mengenai keberatan SKPN PPH BCA. BCA mengajukan surat keberatan wajib pajak dengan nilai yang cukup fantastis yakni sebesar Rp 5,7 triliun terkait kredit bermasalah-nya atau non performance loan (NLP) kepada direktorat PPH Ditjen Pajak pada 17 Juli 2003.
Setelah ditelaah oleh Direktorat PPH, permohonan keberatan wajib pajak yang diajukan BCA ditolak, namun oleh Hadi Poernomo selaku Dirjen Pajak mengintruksikan Direktur PPH yang semula menolak menjadi menerima seluruh permohonan keberatan wajib pajak yang dilayangkan pihak BCA sehari sebelum masa jatuh tempo pemberian keputusan final.
Oleh putusan Hadi Poernomo tersebut, diyakini BCA telah merugikan negara dengan tidak membayar pajak sebesar Rp 375 miliar.
Selain itu, keputusan Hadi Poernomo mengabulkan permohonan keberatan pajak yang diajukan BCA juga semakin terasa janggal apabila mengingat hal serupa juga dilayangkan Bank Danamon perihal keberatan pajak atas nilai transaksi sebesar Rp 17 triliun tetapi ditolak oleh pengadilan pajak. Anehnya, hal ini serupa namun hasilnya berbeda.
Dalam kasus ini KPK menetapkan Hadi Poernomo sebagai tersangka dengan dikenakan ancaman hukuman maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar berdasarkan pelanggaran terhadap pasal 2 ayat 1 dan atau pasal 3 UU no 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Dimana pasal tersebut mengatur mengenai setiap orang yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara maupun setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan.
Selain dua kasus besar di atas, ada juga contoh kasus manipulasi pajak yang menimpa perusahaan besar di Indonesia. Asian Agri dengan 14 anak usahanya terbukti tidak bayar pajak sebesar Rp 1,259,9 triliun selama empat tahun, sehingga dikenakan sangsi atau denda pajak sebesar Rp 653,4 miliar.
Kesimpulan
Setelah mengulas beberapa masalah kasus pajak di atas, saya mendapatkan sebuah kesamaan kasus yang terjadi di beberapa perusahaan besar di Indonesia, seperti Bakrie Group, BCA, PT. Metropolitan Retailmart, Asian Agri, Berau Coal, dan lain sebagainya. Kasus manipulasi pajak ini rupanya tidak hanya terjadi sekali, melainkan begitu banyak perusahaan yang terlibat dalam kasus tersebut.
Dengan maraknya kasus manipulasi pajak di Indonesia, saya harap instansi terkait pengawas pajak bekerja lebih keras untuk meminimalisir adanya kasus-kasus serupa di masa yang akan datang. Selain itu, KPK juga baiknya segera menuntaskan pengusutan kasus manipulasi pajak yang masih menggantung.
Solusi
Pakar
hukum pidana Romli Atmasasmita menyebut ada enam solusi yang tepat dalam
penanganan kasus perpajakaan. Salah satunya, Romli menyarankan kepada
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla nanti, supaya mempertimbangkan sector
perpajakan dikelola oleh badan atau lembaga tersendiri yang langsung
bertanggungjawab kepada presiden.
Kemudian, Romli
melanjutkan, pemberdayaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Pajak harus dilakukan
dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan umum. Sebab, kata Romli, saat
ini di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan tidak sampai
10 persen Penyidik PNS Pajak memiliki latar belakang pendidikan hukum.
"Terbanyak
adalah pendidikan akuntan," kata Romli Romli saat diskusi publik bertajuk
“Solusi Sengketa Pajak : Administrasi atau Pidana?” yang digelar Journalist of
Law Jakarta, IG and Partner dan Center For Indonesia Taxation Analysis (CITA)
di Jakarta, Rabu (3/9).
Menurut Guru Besar
Universitas Padjajaran, Bandung, Jawa Barat, ini penyidik PNS pajak harus
selalu berkonsultasi dan koordinasi dengan penyidik Polri dan Kejaksaan untuk
menetapkan secara cermat status hukum tersangka pelanggaran pajak atau Tipikor.
Romli juga
memaparkan, solusi lain adalah perlunya memperdalam penegak hukum dalam
Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Hal ini mengingat pajak
sebagai sumber pendapatan negara.
Selain itu,
pemberdayaan peradilan pajak dalam kasus sengketa pajak tidak dapat dilakukan
pararel dengan penyidikan dugaan tindak pidana dibidang pajak. “Karena akan
menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidak-adilan baik bagi wajib pajak
maupun fiscus,” katanya. Ia menambahkan, penyidik perlu memahami
prinsip ne bis in idem dalam penanganan kasus pidana pajak terutama yang
berkaitan pajak badan koorporasi.
Lebih jauh Romli
mengatakan bahwa peningkatan pendapatan negara dari pajak berpulang pada
komitmen, keseriusan, dan nir-kepentingan dari pemeriksa/penyidik atau pimpinan
Ditjen Pajak. “Dari pengaruh kepentingan, perorangan, atatau pimpinan Ditjen
Pajak dari pengaruh kepentingan perorangan atau kelompok usaha,” pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar